Ads Top

Ketua BPK: Ahok Bayar Tunai RS Sumber Waras Rp750 Miliar. Bener Gak Sih?

Salinan Cek dan Validasi Bank Transaksi RS. Sumber Waras
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengatakan ada kejanggalan dalam transaksi pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ketua BPK Harry Azhar Aziz menyatakan bahwa pembayaran ke Yayasan Sumber Waras  sebesar Rp755,69 miliar dilakukan secara tunai pada malam tahun baru 2015 lalu.

"Ini mau tahun baru tiba-tiba ada pembayaran tunai, ada apa ini?" Harry sengit mempertanyakan, dalam wawancara di tvOne, Kamis kemarin.

Pernyataan Harry--yang namanya tertera dalam bocoran dokumen Panama Papers dan mengaku belum melaporkan harta kekayaannya ke KPK sebagaimana diamanatkan undang-undang--sontak memantik pertanyaan: mungkinkah dana sebesar Rp750 miliar dibayar secara tunai?

Ekonom senior Poltak Hotradero menyangsikannya. "Bila yang dimaksudkan oleh Ketua BPK secara tunai adalah melibatkan uang secara fisik, maka hal itu rasanya mustahil,"  ujarnya kepada Bareksa.

Dia menjelaskan setidaknya ada empat hal yang membuat hal itu sulit masuk nalar. Pertama, uang tunai Rp750 miliar dalam bentuk pecahan Rp100 ribu, beratnya akan mencapai 7,5 ton. Berat tersebut belum termasuk bungkus dan brankas. Belum lagi mempertanyakan bagaimana pengiriman, pengamanan, dan penggudangannya?

Kedua, untuk menghitung uang tunai sebesar itu--setara 75 ribu gepok dalam pecahan Rp100 ribu--akan menghabiskan waktu sekitar 13 hari, itupun jika dilakukan non stop dengan rata-rata waktu hitung 15 detik per gepok.

Ketiga, uang tunai sebanyak Rp750 miliar hanya mungkin ditarik dari Bank Indonesia. Dan bila benar dilakukan, pasti akan dipermasalahkan BI untuk apa uang sebesar itu ditarik tunai.

Dan yang keempat, praktik itu melanggar ketentuan untuk setiap transaksi yang melibatkan pemerintah, di mana wajib dilakukan melalui pengiriman uang atau pemindahbukuan.

Cek dan transfer antar rekening di Bank DKI

Menurut salinan dokumen yang diperoleh Bareksa, pembayaran lahan RS Sumber Waras dilakukan menggunakan cek dan transfer antar rekening di Bank DKI. Dana disetor Dinas Kesehatan DKI Jakarta melalui cek No. CK 493387 tertanggal 30 Desember 2014 ke rekening RS Sumber Waras di bank yang sama pada 31 Desember 2014 sebesar Rp717.905.072.500. Bersama itu pula Dinas Kesehatan DKI Jakarta mentransfer pembayaran pajak dengan cek No. CK 493388 sebesar Rp37.784.477.500

Perlu dicatat, tanggal cek bisa ditulis kapan saja dan akan valid berlaku hingga 70 hari ke depan. Dalam hal ini, tanggal cek ditulis pada 30 Desember 2014 dan lalu digunakan untuk transaksi pada hari berikutnya.

Dana pembayaran pajak juga jelas telah masuk ke kas negara. Tertera pada dokumen Bukti Penerimaan Negara Bank DKI, transfer dana dilakukan pada jam 17.22 dan diterima pada 17.23 WIB.

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas kepada Bareksa mengatakan berdasarkan bukti-bukti yang telah ditelusuri lembaganya, pembayaran lahan RS Sumber Waras dilakukan melalui mekanisme transfer bank, bukan menyerahterimakan uang dalam bentuk fisik. “Tidak ada uang secara fisik bergepok-gepok yang diberikan kepada Yayasan Sumber Waras,” Firdaus menegaskan.

Uang itu, masih kata Firdaus, milik Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang tersimpan di Bank DKI, lalu ditransfer ke rekening Yayasan Sumber Waras. "Jadi bila dikatakan transaksinya uang tunai secara fisik, jelas tidak."

Firdaus mengatakan berdasarkan penelusuran yang dilakukan ICW, transaksi itu dilakukan pada akhir tahun untuk mengejar serapan anggaran--agar penyerapan anggaran Pemda DKI naik. Saat itu tingkat serapan anggaran Pemprov DKI Jakarta masih relatif rendah, hanya 60 persen. "Pertanyaannya apakah transaksi ini mekanismenya legitimate? Jawabannya iya, meski ada persoalan administrasi yang tidak dijalankan secara baik."

Aktivis antikorupsi ini berpendapat kasus RS Sumber Waras sebatas ada kesalahan dalam hal ketaatan administrasi. Pemprov DKI baru pada bulan Juni 2014 menyiapkan rencana pembelian, tak lama sebelum pembahasan APBD Perubahan 2014. Seharusnya perencanaan disusun dalam jangka waktu yang cukup lama. Dan setelah dimasukkan di APBD-P 2014, perlu ada penandatanganan antara eksekutif dengan DPRD, sebelum kemudian dimasukkan dalam Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUAPPAS). Prosedur inilah, kata Firdaus, yang tidak ditaati Pemprov DKI Jakarta. (kd/Bareksa.com)

No comments:

Powered by Blogger.